Setelah hari itu Ilham Permana semakin sering datang dalam pikiranku dan membuatku semakin tak bisa mencegahnya. Ilham, aduhai,,,,, jika saja waktu ini tepat aku untuk menyirami benih-benih rasa ini pasti akan selalu kulakukan, bahkan mungkin akan ku pupuk. Tapi maaf, aku tak ingin ini terjadi, akan sulit bagiku untuk menghadapinya jika ia tumbuh sedang kau tak memiliki perasaan yang sama dengan ku. Aku ingin merasakan perasaan itu sekali saja.
Tiga hari lagi dead line pengajuan proposal S1, aku harus bisa membuangmu dalam pikirku.
“Neng Amy” sebuah suara memanggilku dari belakang. Ku balikan badan mencari sumber suara, ternyata di belakangku banyak siswa dan siswi berlalu lalang, mencari tempat strategis yang bisa menghilangkan rasa lelah setelah belajar atau untuk mengisi perut yang kosong, sepertinya jam istirahan baru saja dimulai. Mataku terus mencari sampai akhirnya ku dapati seorang siswa yang sedang duduk di depan salah satu kelas melambaikan tangan dan tersenyum hangat. Pasti dia yang memanggilku. Bukanya membalas lambaian dan senyumnya, aku malah terpaku di tempat ku berdiri, lelaki itu memiliki wajah yang lebih muda dariku. Wajahnya terlihat jelas saat tanganya diturunkan. Dia lebih pantas memanggil ku kakak dari pada neng. Aneh. Ku langkahkan kaki mendekatinya. Penasaran juga siapa siswa abi yang berani memanggilku neng di tempat umum seperti ini.
Belum sempat langkah kedua ku ayunkan, seorang anak kecil berlari melewatiku, kerudung putihnya berkibar terkena angin, karena larinya begitu kencang. Anak itu menghampiri siswa yang memanggilku tadi kemudian duduk di sebelahnya. Siswa itu tersenyum. Kupercepat langkah untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukanya tadi dia memanggilku, kenapa sekarang dia malah mengacuhkan ku dan sibuk dengan si kecil.
Sekarang aku sudah ada di depan mereka yang sedang tertawa. Sepertunya asik sekali melihat-lihat buku sampai tidak menyadari kedatangn ku. “Hei” panggilku. Tak ada yang menoloeh. “Heiii” Panggilku lebih keras. Tetap tak ada yang menoleh. Membuat ku kesal saja. Saat aku akan memanggil mereka untuk yang ketiga kalinya anak kecil itu mengangkat wajahnya “Kayaknya tadi ada yang manggil” bibir mungilnya cemberut. Seperti tak suka keasyikannya ku gannggu “Aku memang memanggilmu sayang”. Ku condongkan badan menatap wajah mungilnya, dan untuk beberapa detik aku terdiam, heran. Dengan pikran yang entah terdampar di mana ku tegakan kembali tubuhku. Mengapa wajahnya mirip sekali dengan ku.....
Belum seratus persen aku tersadar sebuah suara berteriak memanggil si gadis kecil.."Neng Amy" kali ini si pemilik suara mendekatinya.. "Neng di tungguin Ummi, ayo" ajaknya sambil menarik tangan Amy kecil. Ku raba wajah wanita itu, raut nya tak asing lagi, aku sangat mengenalnya. "Ia bi Mirah, sebentar" pinta Amy kecil. Dan membuat ku kembali terkejut, bi Mirah? wajah itu memang wajahnya, pengasuhku sejak kecil, hanya saja jauh lebih muda. Tapi kenapa aku berada d tempat seperti ini. Jadi gadis kecil itu adalah aku. lalu siapa siswa yang sejak tadi membuat diriku yang kecil tertawa.
"A Dede Amy pergi dulu ya, Assalmualaikum"
" Wa alaikum salam " jawab nya.
Dede.. Ku sebut namanya dalam hati. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul, sepertinya dia memang sangat akrab dengan ku....
Aku tahu sekarang, hal yang aku lihat pasti kenangan ku di masa lalu, saat aku sekecil dia. Tapi kenapa bisa, apa aku bermimpi? atau masuk kantung doraemon?. Sepertinya alasan yang kedua itu tak masuk akal. Jika aku bermimpi, apa benar ini yang terjadi saat itu, atau hanya bunga mimpi yang biasanya tidak berarti. Karena begitu banyak pertanyaan di benakku, ku kejar langkah mungilnya yang melewati tempat-tempat yang sangat aku kenal. Perpustakaan, lab komputer, ruang tata usaha, dan sekarang aku berhenti tepat di ruang guru. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi keluar dari ruang guru, matanya langsung tertuju pada Amy kecil dan bi Mirah yang duduk di kursi depan kantor.
“Amy udah datang, ayo berangat sayang” Katanya lembut sekali. Tak salah lagi wanita bersuara lembut ini adalah ummi. None betawi yang kelemah lembutanya seperti orang jawa. Abi bertemu Ummi saat mereka berdua kuliah di Bandung lalu menikah dengan Abi yang berasal dari tanah pasundan Sumedang.
Aku kecil kemudian menoleh, lalau berdiri menghampiri ummi. “Abi nggak ikut?” tanyanya. “Abi sedang ngurusin surat kepindahanya Dede, nggak apa-apa kan Abi nggak ikut?” tanyanya kemudian.
“A Dede mau pindah? ke mana? kenapa?.” pertanyaan aku kecil sepertinya masih banyak, tapi dia tak tahu apa yang seharusnya ia ucapkan karena keterbatasan kosakata. Ku lihat sedikit kekecewaan dari pertanyaanya. Sepertinya aku dekat sekali dengan siswa bernama Dede itu, mengapa selama ini aku tak ingat sama sekali.
“insya Allah besok lusa, A Dede harus ikut orang tuanya” Jawab ummi sambil melihat raut aku kecil. Sepertinya beliau pun melihat kekecewaan di mata anak bungsunya. Kemudian tersenyum. “Insya Allah nanti bisa ketemu lagi”. Lanjutnya menenangkan. Aku kecil mengangguk lemah.
“Bi Mirah makasih ya udah ngejemput Amy”. Ummi.
“Ia mi, saya pulang dulu ke rumah, Assalamualaikum”.
“Walaikum salam”. Ummi kemudian menggandeng lengan Amy kecil. “Ayo berangkat”. Sebelum melangkah, Amy kecil mengatakan sesuatu yang membuatku kembali terkejut. “Amy mau nikah sama A Dede kalau udah gede, boleh mi?”. Ya Allah. Apa yang aku katakana saat itu. Lama ku lihat wajahku sendiri yang penuh harap. Tak percaya aku yang saat itu mungkin masih berumur 6 atahu 7 tahun mengatakan hal yang demikian. Ummi hanya tersenyum dan berkata “Insya Allah”.
“AMY, AMY, AMY… BANGUN, udah waktunya ashar nih, ayo bangun, shalat” Sebuah suara memanggilku ntah dari mana. Ku rasa ada seseorang yang menggoncang-goncangkan badanku. “ AMY..” .Plak. “Aduh” jeritku. Pantatku sakit. Tak salah lagi, pasti Irma yang melakukanya. Ku buka mataku yang masih terasa berat. Ternyata aku memang bermimpi. Aneh sekali mimpi siang ini. “udah ashar, ayo shalat, trus siap-siap, bukanya kita harus ketemu Pak Syam jam 5 sore nanti”. Aku mangangguk lemas, masih mencoba memasukan kembali nyawa-nyawa yang masih ada di luar.
Jumat siang aku tiba di rumah. Ku bereskan kamar kemudian menunggu kepulangan Ummi dan Abi untuk ku tanyai. Penasaran dengan siapa pemuda bernama Dede yang kemarin datang dalam mimpiku. Apa benar dia seseorang yang ingin aku nikahi. “Loh, ko udah nyampe, biasanya datang sore, nggak kasih ummi kabar lagi” Ummi pasti baru dari sanggar. Ku cium tangan harum Ummi yang harumnya tak pernah berubah, yang ada hanya pertambahan sedikit kerutan. “Ummi sehat, anak-anak latihanya gimana?” tanyaku. Ummi kemudian duduk di depan kursi yang aku duduki tadi. “Ada apa siang begini sudah sampai rumah, ada yang membuat penasaran?”. Pertanyaan Ummi membua mataku sedikit keluar. Seperti paranormal saja ibuku ini. Apa ini yang dikatakan ikatan batin. Aku tersenyum lamu kemudian duduk kembali di kursi tadi.
“Apa dulu ada siswa abi yang namanya Dede mi?”. Tanyaku tanpa basa-basi. Tapi ternyata tidak untuk Ummi. “Bukanya lebih tepat kalau pertanyaanya diganti jadi, apa bener Amy mau nikah sama yang namanya Dede mi?, ia kan?”. Subhanallah ummi, membuatku malu saja. Tak ayal jika wajahku memerah. Aku menunduk dalam dan Ummi hanya tersenyum geli. Ukh. Malu.
“Dede itu siswa kesayangan Abi, makanya Abi nggak pernah ngelarang kamu buat main-main sama dia. Anaknya pintar, sopan, dan rajin. Orang tuanya pun orang terpandang di Jawa.”
“Dia orang Jawa?” tanyaku tak percaya.
Ummi tersenyum dan melanjutkan ceritanya. “Dia suka sekali menggambar dan menulis. Apapun. Dia bahkan sering menunjukan hasil karyanya pada Ummi dan Abi. Jika menurut Abimu itu pantas untuk kau lihat, Abi akan memintanya menunjukan itu padamu”.
“sekarang?”
“Setelah Dede pindah ke Padang bersama orang tuanya, dia sering berkirim surat pada Abi dan bercerita tentang kehidupannya di sana. Dan sekarang dia sudah berhasil merebut hati Abi”. Aku kurang mengerti apa yang dibicarakan Ummi. “Apa maksdnya berhasil mengambil hati Abi?”. aku sedikit khawatir.
Sebelum menjawab Ummi tersenyum geli. Membuatku semakin bingung. “Kamu ingat pernah bilang kalau udah besar mau nikah sama Dede?”. Aku terdiam mendengar pertanyaan Ummi. Aku tahu aku pernah mengatakannya, tapi itu hanya dalam mimpi. Sampai sekarng aku masih belum yakin apa itu kenyataan atau bukan.
“Dia melamar kamu kemarin, dan Abi menyetujuinya jika kamu setuju. Rencananya malam ini Abi sama Ummi mau bilang sama Amy”. Lanjut Ummi. Seketika saja wajah Ilham Permana yang selama beberapa minggu ini mengganggu pikiranku terbayang, lalu berganti dengan senyumannya selama ini, lalu terulang kembali di kepalaku adegan di mana untuk pertama kalinya dia menyapaku. Bagaimana ini.
“Karena udah Ummi sampaikan , tolong kamu fikirkan ya”. Aku masih duduk dan terdiam. Aku berharap sekali pria pertama yang melamarku adalah Ilham Permana. Aku yakin Abi juga past menyukainya. Bukankah aku belum bertemu kembali dengan a Dede, mana bisa Abi menerimanya begitu saja. Apa sespesial itu kan dia.
Malamnya Abi menyampaikan lamaran itu langsung padaku, beliau bilang a Dede adalah orang yang pas untukku. Tak ada sedikit pun kekurangan yang terlihat oleh mata, entah di mata istrinya nanti. Begitu penjelasan Abi tentangnya. dan itu menunjukan bahwa dia benar-benar istimewa. Ummi yang yang sepertinya menangkap kegelisahanku bertanya “Kamu punya calon lain yang ingin kamu nikahi?” seperti biasa. Lembut. Aku menggeleng. Walaupun aku mengharapkan orang lain, tapi aku belum tahu bagaimana perasaanya. Jika dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan ku, maka sudah dapat dipstikan Ummi dan Abi akan kecewa. Aku masih belum berkata apa-apa. Kebiasaanku mengoceh di depan Ummi dan Abi sepertinya menguap karena measalh perjodohan ini.
“Kalau gitu, tolong difikirkan ya neng, Abi tunggu jawabanya segera. Nggak enak kalau harus membuat orang lain menunggu.” Aku menggangguk. “Istikharah nya, tong hilap” Pesan Abi, sebelum beranjak meninggalkanku disusul Ummi. “Minta sama Allah” Kali ini Ummi yang berpesan.
Satu minggu ini aku tinggal di rumah. Menenagkan diri, tak ada perkuliahan dan tugas minggu ini, dan proposal skripsi sudah disetujui. Abi memintaku untuk menjawab lamaran itu hari kamis nanti, jika aku menerimanya, orang tua a Dede akan datang melamar. Keluarga kedua kakak ku yang di Jakarta pun diwajibkan pulang. Dan sekarang hari rabu. Malam inishalat istikharahku yang ke-4, dua hari yang lalu yang datang dalam mimpiku adalah mimpi saat di mana aku kecil bermain dengan Dede. Tertawa. Bukan Ilham Permana.
Hari kamis. Ku yakinkan dalam hati bahwa aku akan bahagia dengan menerima lamaran ini. Waktu kecil aku sangat menyukainya, bahkan ingin sekali menikah dengan nya. Jika yang Ummi katakana benar, maka aku pasti akan menyukainya seperti saat aku menyukainya dulu. “Insya Allah Amy terima lamaran a Dede mi, bi”. Umi dan Abi tersenyum lega. Kebahagiaan jelas terpancar dari wajah mereka. Aku bersyukur, semoga ini langkah terbaik ya Allah. Aku yakin.
Hari Sabtu rumah terasa ramai. Bukan karena anak-anak sekolah yang biasa mampir untuk bertanya atau mengobrol, tapi karena ulah keponakan-keponakanku yang masih senang berlari-lari ke sana ke mari. Juga karena banyak kerabatyang Abi undang untuk datang menjadi saksi lamaran ini;
“Ih si dede udah mau nikah, teteh kaget euy, mendadak sih Abi ngasih tahunya”. Rahma, kakak pertamaku. “ia ya teh, apa lagi nikahnya the sama si Dede, ih so sweet ya” kakak kedua ku tambah meledek. Umur mereka bertambah tua tapi selalu megikuti pergaulan anak jaman sekarang. Seperti ini lah kalau kami bertiga berkumpul, saling meledek satu sama lain. Setiap bersama mereka aku selalu ingat bahwa di mana pun dan sejauh apa pun kita pergi, logat sunda tidak akan pernah hilang..
“Udah belum dandan nya?” Ummi masuk ke dalam kamarku. Aku memang sedang didandani oleh kedua teteh ku . Kata mereka saat lamaran harus terlihat beda, dan saat menikah baru harus terlihat istimewa.
“Sebentar mi, udah ko”. Rahma.
“sekarang waktunya siap-siap,ayo. Biar Amy sendiri dulu di sini ya”
“Ok Mom” jawab kami serempak.
Detak jantungkusemakin kencang, hari ini aku akan melihat dia. Dan harus mulai menghilangkan nama Ilham Permana. Ku hembusakan nafas panjang agar sedikit lebih tenang.
“Ayo de, keluarganya udah datang”. Teh Rahma menggenggam tangan ku, seolah memberikan energi yang membuatku yakin.
Saat aku dan the Rahma keluar kamar, Semua orang sudah menyambut kedatangn keluarga a Dede di depan pintu. Aku dan teh Rahma menyusul. Karena banyaknya yang datang, aku dan the Rahma terjebak di dalam rumah. Saat aku ingin menyerobot keluar the Rahma melarangku. “Nanti keluarnya kalau udah ditanyain mertua”. Aku hanya menurut saja.
“Assalamualaikum” Suara laki-laki. Dari logat jawa nya yang kental, kuyakini adalah ayah a Dede.
“Wa alaikum salam wa rahmatullah”, jawab kami serempak. Aku belum bisa melihat wajahnya, kakak iparku yang tubuhnya tinggi menjulang menghalanginya.
“Mana ya neng rahmi nya, palai ningali”. Sekarang suara seorang wanita, dia berbahasa sunda. Pasti ibunya berdarah pasundan.
“Ada bu, Amy, sini nak”. Ummi memenggilku. Dadaku kembali berdetak kencang, aku akan melihatnya. Dengan tertunduk malu aku melangkah mendekati Ummi dan Abi, orang-orang yang td menghalangi jalan ku bergeser tanpa dikomando.
Aku massih menunduk saat ada di depan sepasang kaki yang ditutupi oleh sepatu hitam. “Assalamualaikum neg Amy” Sapanya. Refleks ku angkat kepalaku untuk melihat siapa dia yang mengucapkan salam. Ini suara milik Ilham Permana.
“pak Ilham” kata-kata itu keluar begitu saja. Orang yang ada di hadapanku saat ini tak lain adalah Ilham Permana yang selama ini ku inginkan. Bukan orang lain. Mana a Dede.
“ia, saya Ilham, Ilham Permana teman sejak kecilnya neng Amy”
Aku tak mengerti, lelaki dihadapanku memang Ilhan Permana.
“a Dede mana?” tantaku. Pertanyaan yang membuat semua orang di sana tertawa.
“Saya dede yang mau melamar neng Amy, dede itu panggilan kesayangan dari ibu dari kecill”.
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku benar-benar masih terkejut. Dede adalah Ilham, Ilham adalah Dede.
“Masih mau nerima kan kalau yang datang ternyata Ilham, bukan Dede?”. Teh Rani kembali meledek ku. Jadi semua orang sudah tahu tentang ini?. Kenapa tak ada yang member tahuku. “Gimana? mau nolak apa mau nerima?” Lanjutnya. Membuat suasana ramai dengan suara tawa, membuatku semakin tertunduk dan menjawab. “Tentu saja mau”.
“Alhamdulillah”. Semua yang ada di sana mengucap syukur. Begitu pun aku dan dia yang sedang menatap ku dengan senyumannya yang tak bisa digantikan dengan senyuman siapa pun.