IKHLAS


Ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya seperti ia menyembunyikan keburukan-keburukan dirinya (Yaqub YahimaHullah, dalam kitab Tazkiyatun Nafs).
Masih ingat dengan sebuah film yang berjudul Kiamat Sudah Dekat?
Salah satu film yang menyajikan usaha seorang pemuda untuk dapat mengambil hati ayah dari gadis yang dicintainya. Diceritakan bahwa ayah si gadis meminta sang pemuda untuk menguasai ilmu Ikhlas, yang entah siapa bisa menjadi gurunya. Karena tak ada seorangpun yang tahu dengan pasti kadar keikhlasan seseorang. Bahkan dalam kitab yang sama, As-Suusiy berkata, " Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Dan barangsiapa masih menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi".
Sang penilai, dalam kasus film di atas adalah ayah si gadis dengan petunjuk dari Tuhannya telah menyatakan bahwa sang pemuda sudah menguasai ilmu ikhlas yang diminta. Penilaian tentang keihklasannya mengacu pada terlihatnya sikap si pemuda menerima dengan pasrah apapun yang akan terjadi atasnya. Tak ada yang tahu, apakah  dia menjadikan Allah Subhanallah wa ta'ala sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan atau mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berorientasi hanya kepada Allah Subhanalah wa ta'ala atau tidak. Wallau A'lam. Hanya Allah tempat meminta petunjuk untuk menjaga diri kita dalam memandang.

Nilai Awal Syarat Batas (NASaB)


Materi NASaB yang saya pelajari mencangkup
Metoda deret pangkat
Kekonvergenan Deret Pangkat

Ternyata Dia


     Perasaan ku saat ini adalah perasaan yang mungkin juga sedang dirasakan oleh orang lain. Di mana raga bisa menjadi sangat lemah jika melihanya tersenyum dan hati berbunga bunga jika ia menyapa. Huh,,,dan sialnya, seperti apapun dia, dia akan selalu terlihat memesona. Aku benci keadaan sperti ini, aku tertawan. Andai aku boleh meilih, aku tak ingin merasakan ini semua. Aku akan sulit untuk menghilangkan keterpesonaanku dan aku akan menjadi lemah. Oh.... anugerah atau musibah kah? 
    Pernahkah kau menatap bulan sambil berbaring? Menikmati kelembutan sinarnya dan membayangkan bahwa dia pun sedang menatap bulan yang sama denganmu. Seolah kita dapat bercengkrama lewat bulatnya bulan dengan dia yang ada di seberang sana. Romansa masa remaja.
   Ilham Permana. Nama yang saat ini selalu datang dalam pikiranku tanpa ku undang. Sungguh. Lelaki yang usianya sembilan tahun di atas ku ini sekarang menjadi guru baru di yayasan abi. Lulusan S2 pendidikan bahasa dan sastra indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Ia datang untuk mengajar empat hari dalam seminggu. Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat, tapi terkadang di hari Sabtu dia selalu datang untuk muraja’ah bersama abi. Dengan kata lain, ia pun hafidz seperti abi. Beliau adalah sosok yang hangat dan menyenangkan, sangat susah untuk tidak memperhatikannya saat mengajar, sejauh ini, itu yang dikatakan para siswa yang diajarnya saat aku bertanya tentang bagaimana guru baru mereka. Lain lagi saat aku akan masuk ke ruang guru untuk mengambil buku abi, tanpa sengaja ku dengar para guru wanita sedang membicarakan kelebihan yang dimilikinya, tampan, sopan, lembut, hangat, terlihat sekali kekaguman mereka terhadapnya. Beberapa detik kemudian guru-guru muda itu mendapatiku diam di depan pintu saat akan keluar. Mereka bertanya apa yang sedang kutunggu dan mengapa tak masuk saja langsung jika memang ada keperluan di ruang guru. Dan jawaban yang terlontar dari mulutku saat itu adalah aku lupa buku apa yang abi pesan. Hah, jawaban yang membuat mereka tersenyum dan pasti akan menertawakan kepanikanku dalam hati.  Aku baru masuk untuk mengambil buku abi setelah mereka berlalu.
   Dan besok hari sabtu, itu tandanya aku akan bertemu lagi dengan Ilham Permana. Setelah dua minggu ku berkutat dengan angka-angka, kini saatnya aku pulang. Dua minggu aku meninggalkan kelas karate. Walaupun sudah ku berikan amanat kepada Hafidz, rekan sesama pelatih, tetap saja tak enak sekali meninggalkan mereka. Yah,,, resiko menuntut ilmu jauh dari rumah. Padahal dulu abi dan umi selalu memberiku saran untuk kuliah di sana saja, alasanya ya agar aku tak harus bolak balik untuk melatih kelas karate yang selama lima tahun ini ku kelola.
   “Assalamualaikum neng Amy”. Ku arahkan mataku ke sekeliling mencari sumber suara. Begini lah setiap aku pulang. Baru saja selangkah kakiku memasuki pintu gerbang rumah, selalu ada sapaan. Dan, what??? Ilham menyapaku.
      “wa alaikum salam pak”. Duh, dadaku.
      “ginama kuliahnya, sebentar lagi selesai ya ?”. Dia menhhampiriku.
   “alhamdulillah, doakan saja”. Jawabku tanpa ada sedikit pun keramahan di dalamnya walau sebenarnya di sisi lain hatiku aku ingin sekali berlama-lama denganya.
    “udah sibuk kuliah jadi agak beda ya sekarang , saya pulang dulu neng, assalamu alaikum”. Pamitnya dengan senyuman. Tak ubah seperti apa yang dibicarakan orang. Ku balas salam dan senyumnya.
    Ah,,, Dia berlalu dengan meninggalkan pertanyaan dalam benakku. Mengapa dia bisa berkata aku berubah? Memang apa yang diketahuinya tentang ku. Aku hanya anak dari pengelola yayasan tempatnya mengajar saat ini. Belum ada satu bulan ia mengajar di sini, mengenal yayasan ini pun mungkin belum, apa lagi mengenalku, bertemu saja hanya satu minggu sekali. Itu pun hanya berpapasan, dan untuk pertama kalinya dia menyapa dia malah memberiku teka teki. Ilham Permana, sebenarnya siapa dia? Menyebalkan.


         Setelah hari itu Ilham Permana semakin sering datang dalam pikiranku dan membuatku semakin tak bisa mencegahnya. Ilham, aduhai,,,,, jika saja waktu ini tepat aku untuk menyirami benih-benih rasa ini pasti akan selalu kulakukan, bahkan mungkin akan ku pupuk. Tapi maaf, aku tak ingin ini terjadi, akan sulit bagiku untuk menghadapinya jika ia tumbuh sedang kau tak memiliki perasaan yang sama dengan ku. Aku ingin merasakan perasaan itu sekali saja.
Tiga hari lagi dead line pengajuan proposal S1, aku harus bisa membuangmu dalam pikirku.

            “Neng Amy” sebuah suara memanggilku dari belakang. Ku balikan badan mencari sumber suara, ternyata di belakangku banyak siswa dan siswi berlalu lalang, mencari tempat strategis yang bisa menghilangkan rasa lelah setelah belajar atau untuk mengisi perut yang kosong, sepertinya jam istirahan baru saja dimulai. Mataku terus mencari sampai akhirnya ku dapati seorang siswa yang sedang duduk di depan salah satu kelas melambaikan tangan dan tersenyum hangat. Pasti dia yang memanggilku. Bukanya membalas lambaian dan senyumnya, aku malah terpaku di tempat ku berdiri, lelaki itu memiliki wajah yang lebih muda dariku. Wajahnya terlihat jelas saat tanganya diturunkan. Dia lebih pantas memanggil ku kakak dari pada neng. Aneh. Ku langkahkan kaki mendekatinya. Penasaran juga siapa siswa abi yang berani memanggilku neng di tempat umum seperti ini.
Belum sempat langkah kedua ku ayunkan, seorang anak kecil berlari melewatiku, kerudung putihnya berkibar terkena angin, karena larinya begitu kencang. Anak itu menghampiri siswa yang memanggilku tadi kemudian duduk di sebelahnya. Siswa itu tersenyum. Kupercepat langkah untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukanya tadi dia memanggilku, kenapa sekarang dia malah mengacuhkan ku dan sibuk dengan si kecil.
Sekarang aku sudah ada di depan mereka yang sedang tertawa. Sepertunya asik sekali melihat-lihat buku sampai tidak menyadari kedatangn ku. “Hei” panggilku. Tak ada yang menoloeh. “Heiii” Panggilku lebih keras. Tetap tak ada yang menoleh. Membuat ku kesal saja. Saat aku akan memanggil mereka untuk yang ketiga kalinya anak kecil itu mengangkat wajahnya “Kayaknya tadi ada yang manggil” bibir mungilnya cemberut. Seperti tak suka keasyikannya ku gannggu  “Aku memang memanggilmu sayang”. Ku condongkan badan menatap wajah mungilnya, dan untuk beberapa detik aku terdiam, heran. Dengan pikran yang entah terdampar di mana ku tegakan kembali tubuhku. Mengapa wajahnya mirip sekali dengan ku.....
            Belum seratus persen aku tersadar sebuah suara berteriak memanggil si gadis kecil.."Neng Amy" kali ini si pemilik suara mendekatinya.. "Neng di tungguin Ummi, ayo" ajaknya sambil menarik tangan Amy kecil. Ku raba wajah wanita itu, raut nya tak asing lagi, aku sangat mengenalnya. "Ia bi Mirah, sebentar" pinta Amy kecil. Dan membuat ku kembali terkejut, bi Mirah? wajah itu memang wajahnya, pengasuhku sejak kecil,  hanya saja jauh lebih muda. Tapi kenapa aku berada d tempat seperti ini. Jadi gadis kecil itu adalah aku. lalu siapa siswa yang sejak tadi membuat diriku yang kecil tertawa.
   "A Dede Amy pergi dulu ya, Assalmualaikum"
  " Wa alaikum salam " jawab nya.
Dede.. Ku sebut namanya dalam hati. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul, sepertinya dia memang sangat akrab dengan ku....
Aku tahu sekarang, hal yang aku lihat pasti kenangan ku di masa lalu, saat aku sekecil dia. Tapi kenapa bisa, apa aku bermimpi? atau masuk kantung doraemon?. Sepertinya alasan yang kedua itu tak masuk akal. Jika aku bermimpi, apa benar ini yang terjadi saat itu, atau hanya bunga mimpi yang biasanya tidak berarti. Karena begitu banyak pertanyaan di benakku, ku kejar langkah mungilnya yang melewati tempat-tempat yang sangat aku kenal. Perpustakaan, lab komputer, ruang tata usaha, dan sekarang aku berhenti tepat di ruang guru. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi keluar dari ruang guru, matanya langsung tertuju pada Amy kecil dan bi Mirah yang duduk di kursi depan kantor.
“Amy udah datang, ayo berangat sayang” Katanya lembut sekali. Tak salah lagi wanita bersuara lembut ini adalah ummi. None betawi yang kelemah lembutanya seperti orang jawa. Abi bertemu Ummi saat mereka berdua kuliah di Bandung lalu menikah dengan Abi yang berasal dari tanah pasundan Sumedang.
Aku kecil kemudian menoleh, lalau berdiri menghampiri ummi. “Abi nggak ikut?” tanyanya. “Abi sedang ngurusin surat kepindahanya Dede, nggak apa-apa kan Abi nggak ikut?” tanyanya kemudian.
“A Dede mau pindah? ke mana? kenapa?.” pertanyaan aku kecil sepertinya masih banyak, tapi dia tak tahu apa yang seharusnya ia ucapkan karena keterbatasan kosakata. Ku lihat sedikit kekecewaan dari pertanyaanya. Sepertinya aku dekat sekali dengan siswa bernama Dede itu, mengapa selama ini aku tak ingat sama sekali.
“insya Allah besok lusa, A Dede harus ikut orang tuanya” Jawab ummi sambil melihat raut aku kecil. Sepertinya beliau pun melihat kekecewaan di mata anak bungsunya. Kemudian tersenyum. “Insya Allah nanti bisa ketemu lagi”. Lanjutnya menenangkan. Aku kecil mengangguk lemah.
“Bi Mirah makasih ya udah ngejemput Amy”. Ummi.
“Ia mi, saya pulang dulu ke rumah, Assalamualaikum”.
“Walaikum salam”. Ummi kemudian menggandeng lengan Amy kecil. “Ayo berangkat”. Sebelum melangkah, Amy kecil mengatakan sesuatu yang membuatku kembali terkejut. “Amy mau nikah sama A Dede kalau udah gede, boleh mi?”. Ya Allah. Apa yang aku katakana saat itu. Lama ku lihat wajahku sendiri yang penuh harap. Tak percaya aku yang saat itu mungkin masih berumur 6 atahu 7 tahun mengatakan hal yang demikian. Ummi hanya tersenyum dan berkata “Insya Allah”.
“AMY, AMY, AMY… BANGUN, udah waktunya ashar nih, ayo bangun, shalat” Sebuah suara memanggilku ntah dari mana. Ku rasa ada seseorang yang menggoncang-goncangkan badanku. “ AMY..” .Plak. “Aduh” jeritku. Pantatku sakit. Tak salah lagi, pasti Irma yang melakukanya. Ku buka mataku yang masih terasa berat. Ternyata aku memang bermimpi. Aneh sekali mimpi siang ini. “udah ashar, ayo shalat, trus siap-siap, bukanya kita harus ketemu Pak Syam jam 5 sore nanti”. Aku mangangguk lemas, masih mencoba memasukan kembali nyawa-nyawa yang masih ada di luar.
Jumat siang aku tiba di rumah. Ku bereskan kamar kemudian menunggu kepulangan Ummi dan Abi untuk ku tanyai. Penasaran dengan siapa pemuda bernama Dede yang kemarin datang dalam mimpiku. Apa benar dia seseorang yang ingin aku nikahi. “Loh, ko udah nyampe, biasanya datang sore, nggak kasih ummi kabar lagi” Ummi pasti baru dari sanggar. Ku cium tangan harum Ummi yang harumnya tak pernah berubah, yang ada hanya pertambahan sedikit kerutan. “Ummi sehat, anak-anak latihanya gimana?” tanyaku. Ummi kemudian duduk di depan kursi yang aku duduki tadi. “Ada apa siang begini sudah sampai rumah, ada yang membuat penasaran?”. Pertanyaan Ummi membua mataku sedikit keluar. Seperti paranormal saja ibuku ini. Apa ini yang dikatakan ikatan batin. Aku tersenyum lamu kemudian duduk kembali di kursi tadi.
“Apa dulu ada siswa abi yang namanya Dede mi?”. Tanyaku tanpa basa-basi. Tapi ternyata tidak untuk Ummi. “Bukanya lebih tepat kalau pertanyaanya diganti jadi, apa bener Amy mau nikah sama yang namanya Dede mi?, ia kan?”. Subhanallah ummi, membuatku malu saja. Tak ayal jika wajahku memerah. Aku menunduk dalam dan Ummi hanya tersenyum geli. Ukh. Malu.
“Dede itu siswa kesayangan Abi, makanya Abi nggak pernah ngelarang kamu buat main-main sama dia. Anaknya pintar, sopan, dan rajin. Orang tuanya pun orang terpandang di Jawa.”
“Dia orang Jawa?” tanyaku tak percaya.
Ummi tersenyum dan melanjutkan ceritanya. “Dia suka sekali menggambar dan menulis. Apapun. Dia bahkan sering menunjukan hasil karyanya pada Ummi dan Abi. Jika menurut Abimu itu pantas untuk kau lihat, Abi akan memintanya menunjukan itu padamu”.
“sekarang?”
“Setelah Dede pindah ke Padang bersama orang tuanya, dia sering berkirim surat pada Abi dan bercerita tentang kehidupannya di sana. Dan sekarang dia sudah berhasil merebut hati Abi”. Aku kurang mengerti apa yang dibicarakan Ummi. “Apa maksdnya berhasil mengambil hati Abi?”. aku sedikit khawatir.
            Sebelum menjawab Ummi tersenyum geli. Membuatku semakin bingung. “Kamu ingat pernah bilang kalau udah besar mau nikah sama Dede?”. Aku terdiam mendengar pertanyaan Ummi. Aku tahu aku pernah mengatakannya, tapi itu hanya dalam mimpi. Sampai sekarng aku masih belum yakin apa itu kenyataan atau bukan.
“Dia melamar kamu kemarin, dan Abi menyetujuinya jika kamu setuju. Rencananya malam ini Abi sama Ummi mau bilang sama Amy”. Lanjut Ummi. Seketika saja wajah Ilham Permana yang selama beberapa minggu ini mengganggu pikiranku terbayang, lalu berganti dengan senyumannya selama ini, lalu terulang kembali di kepalaku adegan di mana untuk pertama kalinya dia menyapaku. Bagaimana ini.
            “Karena udah Ummi sampaikan , tolong kamu fikirkan ya”. Aku masih duduk dan terdiam. Aku berharap sekali pria pertama yang melamarku adalah Ilham Permana. Aku yakin Abi juga past menyukainya. Bukankah aku belum bertemu kembali dengan a Dede, mana bisa Abi menerimanya begitu saja. Apa sespesial itu kan dia.
            Malamnya Abi menyampaikan lamaran itu langsung padaku, beliau bilang a Dede adalah orang yang pas untukku. Tak ada sedikit pun kekurangan yang terlihat oleh mata, entah di mata istrinya nanti. Begitu penjelasan Abi tentangnya. dan itu menunjukan bahwa dia benar-benar istimewa. Ummi yang yang sepertinya menangkap kegelisahanku bertanya “Kamu punya calon lain yang ingin kamu nikahi?” seperti biasa. Lembut. Aku menggeleng. Walaupun aku mengharapkan orang lain, tapi aku belum tahu bagaimana perasaanya. Jika dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan ku, maka sudah dapat dipstikan Ummi dan Abi akan kecewa. Aku masih belum berkata apa-apa. Kebiasaanku mengoceh di depan Ummi dan Abi sepertinya menguap karena measalh perjodohan ini.
            “Kalau gitu, tolong difikirkan ya neng, Abi tunggu jawabanya segera. Nggak enak kalau harus membuat orang lain menunggu.” Aku menggangguk. “Istikharah nya, tong hilap” Pesan Abi, sebelum beranjak meninggalkanku disusul Ummi. “Minta sama Allah” Kali ini Ummi yang berpesan.
            Satu minggu ini aku tinggal di rumah. Menenagkan diri, tak ada perkuliahan dan tugas minggu ini, dan proposal skripsi sudah disetujui. Abi memintaku untuk menjawab lamaran itu hari kamis nanti, jika aku menerimanya, orang tua a Dede akan datang melamar. Keluarga kedua kakak ku yang di Jakarta pun diwajibkan pulang. Dan sekarang hari rabu. Malam inishalat istikharahku yang ke-4, dua hari yang lalu yang datang dalam mimpiku adalah mimpi saat di mana aku kecil bermain dengan Dede. Tertawa. Bukan Ilham Permana.
Hari kamis. Ku yakinkan dalam hati bahwa aku akan bahagia dengan menerima lamaran ini. Waktu kecil aku sangat menyukainya, bahkan ingin sekali menikah dengan nya. Jika yang Ummi katakana benar, maka aku pasti akan menyukainya seperti saat aku menyukainya dulu. “Insya Allah Amy terima lamaran a Dede mi, bi”. Umi dan Abi tersenyum lega. Kebahagiaan jelas terpancar dari wajah mereka. Aku bersyukur, semoga ini langkah terbaik ya Allah. Aku yakin.
Hari Sabtu rumah terasa ramai. Bukan karena anak-anak sekolah yang biasa mampir untuk bertanya atau mengobrol, tapi karena ulah keponakan-keponakanku yang masih senang berlari-lari ke sana ke mari. Juga karena banyak kerabatyang Abi undang untuk datang menjadi saksi lamaran ini;
“Ih si dede udah mau nikah, teteh kaget euy, mendadak sih Abi ngasih tahunya”. Rahma, kakak pertamaku. “ia ya teh, apa lagi nikahnya the sama si  Dede, ih so sweet ya” kakak kedua ku tambah meledek. Umur mereka bertambah tua tapi selalu megikuti pergaulan anak jaman sekarang. Seperti ini lah kalau kami bertiga berkumpul, saling meledek satu sama lain. Setiap bersama mereka aku selalu ingat bahwa di mana pun dan sejauh apa pun kita pergi, logat sunda tidak akan pernah hilang..
“Udah belum dandan nya?” Ummi masuk ke dalam kamarku. Aku memang sedang didandani oleh kedua teteh ku . Kata mereka saat lamaran harus terlihat beda, dan saat menikah baru harus terlihat istimewa.
“Sebentar mi, udah ko”. Rahma.
“sekarang waktunya siap-siap,ayo. Biar Amy sendiri dulu di sini ya”
“Ok Mom” jawab kami serempak.
Detak jantungkusemakin kencang, hari ini aku akan melihat dia. Dan harus mulai menghilangkan nama Ilham Permana. Ku hembusakan nafas panjang agar sedikit lebih tenang.
“Ayo de, keluarganya udah datang”. Teh Rahma menggenggam tangan ku, seolah memberikan energi yang membuatku yakin.
Saat aku dan the Rahma keluar kamar, Semua orang sudah menyambut kedatangn keluarga a Dede di depan pintu. Aku dan teh Rahma menyusul. Karena banyaknya yang datang, aku dan the Rahma terjebak di dalam rumah.  Saat aku ingin menyerobot keluar the Rahma melarangku. “Nanti keluarnya kalau udah ditanyain mertua”. Aku hanya menurut saja.
“Assalamualaikum”  Suara laki-laki. Dari logat jawa nya yang kental,  kuyakini adalah ayah a Dede.
“Wa alaikum salam wa rahmatullah”, jawab kami serempak. Aku belum bisa melihat wajahnya, kakak iparku yang tubuhnya tinggi menjulang menghalanginya.
“Mana ya neng rahmi nya, palai ningali”. Sekarang suara seorang wanita, dia berbahasa sunda. Pasti ibunya berdarah pasundan.
“Ada bu, Amy, sini nak”. Ummi memenggilku. Dadaku kembali berdetak kencang, aku akan melihatnya. Dengan tertunduk malu aku melangkah mendekati Ummi dan Abi, orang-orang yang td menghalangi jalan ku bergeser tanpa dikomando.
Aku massih menunduk saat ada di depan sepasang kaki yang ditutupi oleh sepatu hitam. “Assalamualaikum neg Amy” Sapanya. Refleks ku angkat kepalaku untuk melihat siapa dia yang mengucapkan salam. Ini suara milik Ilham Permana.
“pak Ilham” kata-kata itu keluar begitu saja. Orang yang ada di hadapanku saat ini tak lain adalah Ilham Permana yang selama ini ku inginkan. Bukan orang lain. Mana a Dede.
“ia, saya Ilham, Ilham Permana teman sejak kecilnya neng Amy”
Aku tak mengerti, lelaki dihadapanku memang Ilhan Permana.
“a Dede mana?” tantaku. Pertanyaan yang membuat semua orang di sana tertawa.
“Saya dede yang mau melamar neng Amy, dede itu panggilan kesayangan dari ibu dari kecill”.
            Aku tak tahu harus berkata apa. Aku benar-benar masih terkejut. Dede adalah Ilham, Ilham adalah Dede.
            “Masih mau nerima kan kalau yang datang ternyata Ilham, bukan Dede?”. Teh Rani kembali meledek ku. Jadi semua orang sudah tahu tentang ini?. Kenapa tak ada yang member tahuku. “Gimana? mau nolak apa mau nerima?” Lanjutnya. Membuat suasana ramai dengan suara tawa, membuatku semakin tertunduk dan menjawab. “Tentu saja mau”.
“Alhamdulillah”. Semua yang ada di sana mengucap syukur. Begitu pun aku dan dia yang sedang menatap ku dengan senyumannya yang tak bisa digantikan dengan senyuman siapa pun.

CONTOH ANALISIS JURNAL

Salah satu tugas yang diberikan saat mengikuti mata kuliah Metodologi Penelitian itu menganalisis jurnal. Waktu itu judul yang saya pilih adalah :“pre-service teachers' exposure to using the history of mathematics to enhance their teaching of high school mathematics”
Silahkan baca selengkapnya dan download file dan jurnal nya....
TUGAS ANALISI JURNAL
“pre-service teachers' exposure to using the history of mathematics to enhance their teaching of high school mathematics”
Oleh :
Pusti Lestari                108017000015

PENDAHULUAN
Jurnal penelitian ini berjudul “pre-service teachers' exposure to using the history of mathematics to enhance their teaching of high school mathematics”. Tujuan secara umumnya untuk mengetahui persepsi calon guru matematika  mengenai pentingnya sejarah matematika dalam pengajaran siswa SMA dan apakah pemaparan sejarah matematika tersebut bisa digunakan sebagai salah satu metode guru mengajar.
Pembelajaran matematika bukan hanya sekedar memberikan pemahaman mengenai konsep kepada peserta didik. Tetapi juga menerapkan matematika bermakna, yaitu di mana siswa merasa akrab dengan matematika sehingga mereka menghargai matematika dan merasa bahwa matematika adalah pelajaran yang memberikan manfaat. Oleh karena itu pengajaran matematika membutuhkan guru yang lebih dari sekedar memiliki kompetensi matematika tetapi juga memiliki pengetahuan luas tentang matematika, apa dan bagaimana matematika, serta sikap positif guru terhadap matematika. 
Penelitian dalam jurnal ini menjelaskan bahwa salah satu metode  yang digunakan untuk meningkatkan pengajaran guru terhadap matematika yang bermakna adalah dengan pemaparan sejarah matematika, mengenal apa konstribusi matematika dalam kehidupan manusia sehingga para calon guru memiliki pengetahuan matematika yang lebih luas. Dengan demikian akan timbul sikap positif  terhadap matematika dan rasa lebih percaya diri dalam mengajarkan matematika.
 
Baca selengkapnya di
Jurnal mtk                              
Semoga bermanfaat yaaa..........

Coretan Kecil yang ku beri judul "Senyum dalam Senja".


Lagu simphoni mengalun dari hp Ira. “Teteh ada telphone”. Nana adik sepupu Ira memanggilnya. Baru saja ia menyimpan kado di kamar tidur ira. “Ia neng”.  Segera ia menghampiri dan mengangkat hp yang sejak tadi memang ia tinggalkan di dalam kamar. Dari tadi pagi keluarga Ira sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan dirinya yang tinggal tiga hari lagi. Para tetangga dan saudara jauhpun ikut membantu.
Ira melihat layar handphonnya. Nomor baru. Segera ia tekan tombol answer.
“Assalamu alaikum”.
“Wa alaikum salam”. Ira terdiam. Ia tahu betul siapa pemilik suara  yang menjawab salamnya.
Brukk. Tiba-tiba saja ia merasa lemas. Kakinya tak mampu menahan beban tubuhnya untuk berdiri. Mata hitamnya mendadak kosong. Tak ada lagi yang dipikirkanya selain sosok si pemilik suara.
Cukup lama Ira tak bisa mengontrol dirinya. Seolah tahu apa yang di alami Ira si penelepon memberanikan diri untuk membuka suara.
“Neng sehat?”. Tanyanya. Ira tetap terdiam. Panggilan itu kembali ia dengar. Saat ini. Di waktu yang sangat tidak tepat. “Neng”. Suara itu menunggu jawabnya .
Ira beristigfar dalam hati. Ia harus kuat. “Alhamdulillah sehat. Aa sehat?”. Sakit ia rasakan ketika mengucapkan kata yang sejak dulu memang merupakan panggilan kepada lelaki yang saat ini meneleponnya.
“Udah jadi sarjana ya sekarang mah. Ngajar di sekolah mana?”.
Ira benar-benar merasakan sakit yang luar biasa dalam hatinya. Seolah ada sesuatu yang menyayat. Susah sekali untuk bicara.“Ia, alhamdulillah empat bulan yang lalu Ira diwisuda. Sekarang ngajarnya di sekolah yang deket rumah aja. Mau nemenin orang tua”.
“Maaf kalau aa baru ngehubungin Ira sekarang”.
            Lalu apa alasan aa baru menghubungi Ira sekarang? Mengapa aa menghilang. Gadis itu kini menahan iar mata yang sudah mulai membobol pertahanan yang sejak tadi ia jaga.
“Aa mau ke rumah. Mau minta izin sama orang tua neng buat ngelamar Ira”.
Kali ini pertahananya benar-benar bobol. Ia tak sanggup lagi membendung air mata yang sajak tadi ia tahan. Air itu jatuh membasahi pipi halusnya. Benar-benar deras separti tak ingin berhenti.
Kenapa  aa katakan itu sekarang. Kenapa tidak sejak dulu. Saat ini aku sudah menentukan pilihanku. Saat ini dua keluarga besar sedang sibuk mempersiapkan pernikahan anak-anaknya. Kenapa aa selalu menyakitiku. Kenapa aa hadir lagi di hidup ku.
Masih banyak kenapa-kenapa yang Ira tanyakan. Ia tak mengerti. Ini benar-benar menyakitkan. Tangannya kuat menarik baju di bagian dadanya. Berharap sedikit mengurangi sakit yang ia rasakan.
Isakanya terdengar oleh laki-laki di sebrang sana. Isakan yang membuat lelaki itu bingung.  “Neng, neng nangis, kenapa?”.
Bukan jawaban dari pertanyaanya yang ia dapat melainkan isakan yang semakin terdengar jelas sampai ia bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Ia terdiam. Beberapa saat tak ada yang bicara. Yang terdengaroleh keduanya hanya isak tangis Nazma.
“neng”. Lelaki itu mencoba menyapa saat isakannya mulai melemah.
“Empat hari lagi Ira mau nikah”.
Lelaki itu merasa bahwa ia seolah tersambar petir di siang bolong. Berton-ton beban menimpa tubuhnya. Kali ini persendianya yang terasa lemas. Wajahnya tertunduk dalam.
“siapa orang yang beruntung itu neng”. Ira dapat merasakan suara lelaki itu begitu lemas. Sakit sekali rasanya.
Ira harus kuat. Ira bukan siapa-siapanya a Fikri lagi. A Fikri juga bukan siapa-siapanya Ira. Sebentar lagi Ira jadi istri a Hanif. ira harus kuat. Ira mencoba menghilangkan sisi-sisa tangis dan isakannya. Ia menghirup nafas dengan membaca bismillah dan menghembuskannya pelan.
“A Hanif, aa juga pasti kenal dia kan. Kalau ada waktu datang ya”. Sekuat tenaga Ira menahan agar air matanya tak jatuh lagi.
Hanif. Hanya satu nama Hanif yang ia kenal. Hanif Permana. Jika itu memang ia Fikri kenal betul dengan Hanif Permana. Teman satu kampusnnya  nya dulu. Mahasiswa yang gila dengan kegiatan-kegiatan kampus. Prestasi akedemiknya pun tak kalah dengan dirinnya. Yang terakhir dia dengar Hanif langsung melanjutkan studynya di Bogor dan menjadi Master Scient dua tahun yang lalu. Berbeda dengan dia yang lebih memilih menacri pekarjaan dan baru menyelesaikan S2 nya tahun ini. Tepat dengan Ira menyelesaikan S1 nya. Tapi Fikri yakin bahwa Hanif tahu bahwa dirinya mencintai Ira sejak mereka kuliah bersama dulu.
“Hanif Permana?”. Ia harus memastikan.
“Ia, a Hanif yang katanya dulu sekampus sama aa”. Ira ingin sekali mengakhiri pembicaraan ini. Ia tak ingin lebih menyakiti dirinya dan Fikri. “Ira harus bantu-bantu yang lain. Kalau nggak ada lagi yang mau dibicarain Ira tutup ya”.
“Sebentar, boleh minta nomornya Hanif?”.
“Nanti Ira sampein kalau a Hanif datang. Assalamualaikum”.
“wa alaikum salam”.
Baru saja Ira akan keluar kamar. Hanif telah berdiri di depan pintu kamarnya.
Melihat wajah calon istrinya murung Hanif megelus kepala Ira yang dibalut kerudung birunya.
“Habis nangis ya? Kenapa?”.
“A Fikri tadi telpon”.
Hanif mengerti jika itu alasan Ira menangis. Ia yakin itu yang akan terjadi jika menyangkut Fikri.
“No nya ada? Aku minta ya”.
Ira segera mengambil hp kemudian memberikan nya kepada Hanif.
“Ya udah. Cuci muka dulu. terus bantuin yang lain ya”. Ira mengangguk. “ Aku mau ketemu sama Fikri dulu”. Lanjut Hanif.
“Tapi rumah a Fikri jauh a”.
“Nggak ke rumahnya ko. Paling di tempat aku dan Fikri dulu membicarakan kamu. Tenang aja ya”.
“Hati-hati”.
Hanif mengganguk “Assalamu alaikum”.
“Wa alaikum salam”. Semoga semuanya baik-baik aja. Doa Ira dalam hati.

“Assalamu alaikum”. Hanif menghampiri laki-laki yang sedang duduk memandang  jauh  laut yang ada di depannya. Kemudian duduk di samping lelaki itu.
“Wa alaikun salam”. Pandangannya tak sedikitpun beralih.
“Sehat Fik?”. Mereka berdua memandang indahnya pemandangan pantai di sore hari. Sama seperti saat mereka berdua masih kuliah bersama.
“alhamdulillah, kamu gimana?”.
“Alhamdulillah lebih dari sehat”.
“Selamat atas pernikahannya ya”.
“Terima kasih. Aku tahu kamu pasti terkejut saat tahu Ira akan menikah. Apalagi dengan ku. Teman yang dulu selalu mendengarkan ceritamu tentangnya”.
“Lalu kenapa kau mau menikahinya?”.
“Kamu fikir kalau aku tahu dia Ira yang kamu ceritakan aku mau menikahinya?”.
 “Sekarang kau sudah tahu”. Jawab Fikri tanpa mengalihkan pandanganya.
“jadi kamu tega melihat kedua keluarga besar kami menanggung malu?”.
Keduanya diam. Menatap langit yang semakin menguning.
“Kau tahu, aku selalu iri jika kamu berccerita tentang Ira. Aku ingin sekali mempunyai pendamping hidup seperti dia”. Masih tak ada tanggapan dari Fikri. Hanif melanjutkan ceritanya. Ira adalah salah satu mahasiswi di kampus aku mengajar. Saat teman-temanya memanggil dia Ira, aku berharap ia seperti Ira yang selama ini kau ceritakan. Bukan kah kau tak pernah sekalipun memperlihatkan wajah Ira dan memberi tahu ku nama lengkapnya”.
Fikri tetap masih terdiam. Belum bisa menerima penjelasan Hanif walau ia sadar ia memang tak pernah memperlihatkan wajah Ira. Bagaimana mau memperlihatkan. Foto Ira saja dia tidak punya.
“Keinginan ku semakin menjadi kenyataan saat kami sudah mulai dekat. Dia memang seperti yang kau ceritakan. Sopan, sedikit manja dan perhatian pada siapa saja. Aku pun memiliki Aira yang dapat ku banggakan kepadamu”.
Fikri tersenyum. Ira memang seperti itu.
“Lalu aku tahu bahwa keluarganya tinggal di Bandung. Aku memintanya memanggilku dengan panggilan yang sama dengan panggiilan dia kepadamu. Sampai saat itu aku belum mengetahui kalau dia Ira mu”.
“Kapan kau tahu ia adalah Ira yang selalu kuceritakan”.
“Saat aku betanya padanya apa setiap orang yang bernama Ira seperti dia karena aku pun memiliki teman yang mengenal Ira yang seperti dirinya. Ku ceritakan semua yang kita bicarakan di sini. Ku ceritakan bahwa kau benar-benar mencintainya. Dan kau tahu apa yang terjadi saat itu?. Dia mengangis. Awalnya aku tak mengerti sampai ia menceritakan apa yang terjadi di antara kalian. Ira bilang kalau.....”.
“ Aku tak pernah memberi kepastian.” Fikri melanjutkan apa yang akan Hanif katakan.
“Kau benar. Lalu apa alasannya?”.
“Aku berfikir pendidikan ku harus di atas dia, dengan berbagai pertimbangn dan segala usaha akhirnya aku berani melanjutkan pendidikan ku di S2. Kau tahu bukan, susah bagiku untuk melanjutkan pendidikan. Apa lagi aku hanya seorang guru di desa. Menunggu beasiswa? Aku tak yakin”. 
Hanif tahu bahwa keluarga Fikri memang keluarga yang sederhana. Tapi tak seharusnya Fikri berputus asa seperti itu.
“Ira tak perduli jika pendidikan dan profesimu sama atau lebih rendah darinya. Yang ia harapkan hanya sebuah kepastian. Jika sekali saja kau meminta padanya untuk menunggu. Dia tak akan mau menerima lamaranku. Tiga tahun  kau sekalipun tak memberikan kabar padanya. Waktu aku tahu dia adalah Iramu aku pun langsung menghubungimu tapi tak bisa. kemana kau selama ini?”.
“Aku mengganti nomorku. Aku tak berhubungan dengan siapa pun sampai aku menelesaikan S2 ku. Aku hanya ingin aku dan dia konsentrasi belajar, tapi ternyata”.
“Dan membiarkan dia menunggumu dalam ketidak pastian. Bodoh”.
“Andai sekali saja kau katakan. Tak perlu kau ucapkan jika kau tak cukup berani.  Cukup dengan kau tunjukan rasa perdulli dan perhatian mu padanya dia akan setia menunggumu. Aku yakin itu”.
“Aku.. aku kira apa yang aku lakukan cukup untuk membuatnya yakin”.
“Ya, kau memang benar. Awalnya ia sangat yakin dan mengharapkan dirimu untuk menjadi pendamping hidupnya tapi itu sebelum kau menghilang. Dua minggu yang lalu aku masih menyuruhnya untuk memikirkan keputusannya menerima ku. Bagaimana seandainya kau datang sebelum kami menikah”.
“Apa yang dikatakannya?”.
“Aku sudah memilih aa. Kalaupun a Fikri menghubungiku sebelum kita menikah aku akan tetap memilih aa yang telah mencintaiku selama ini”.
Tidak ada yang salah. Hanya aku seharusnya lebih berani melamar gadis yang sekarang menjadi calon dari sahabatku sendiri. “Jaga Ira baik-baik Nif”.
“Insya Allah. Aku pasti akan selalu menjaganya”.
“Aku duluan. Assalamualaikum”.
“Wa alaikum salam”. Hanif berdiri memandang punggung Fikri yang semakin menjauh. Hp nya bergetar. Satu sms masuk. Ira.
Udah magrib a. Habis shalat langsung pulang. Senyum menghiasi wajah Hanif. Begitu juga senja.





Copyright 2009 Alaufa. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates